Senin, 29 Maret 2010

PENARIKAN SAMPEL

Sampel dan populasi itu sangat penting karena setiap penelitian ilmiah berhadapan dengan masalah sumber data yang disebut populasi dan sampel. Sampel adalah sebagian dari populasi. Artinya tidak aka ada sampel jika tidak ada populasi. Populasi adalah keseluruhan elemen atau unsur yang akan kita teliti. Pemilihan dan penentuan sumber data itu tergantung pada permasalahan yang akan diselidiki dan hipotesis yang hendak diuji kebenarannya. Sumber data yang tidak tepat atau tidak objektif mengakibatkan data yang terkumpul menjadi tidak relevan yang dapat menimbulkan kekeliruan dalam menarik kesimpulan.
Penelitian yang mempergunakan populasi dan sampel adalah sangat efektif untuk memperoleh kesimpulan atau teori baru yang valid dan reliabel apabila jika populasi dan sampel yang dijadikan sumber data objektif. Tetapi sebaliknya populasi atau sampel yang keliru tidak banyak artinya bagi pemecahan masalah yang dihadapi, bahkan akan menimbulkan masalah-masalah baru bilamana hasilnya dipergunakan untuk melakukan tindakan-tindakan praktis.
Di samping itu diperlukan juga ketelitian dan kecermatan dalam menetapkan sumber data ini agar diperoleh informasi atau data yang memadai, baik yang mendukung maupun menolak hipotesis yang hendak diuji, dalam arti memiliki tingkat obyektifitas yang tinggi dalam menarik kesimpulan berdasarkan hasil pengujian hipotesis tersebut. Populasi dan sampel dalam suatu penelitian, bukanlah suatu persoalan yang remeh bilamana diharapkan memperoleh hasil yang valid dan reliable.
Penelitian ilmiah boleh dikatakan hampir selalu hanya dilakukan terhadap sebagian saja dari hal-hal yang sebenarnya mau diteliti. Jadi penelitian hanya dilakukan terhadap sampel, tidak terhadap populasi. Namun, kesimpulan-kesimpulan mengenai sampel itu akan dikenakan atau digeneralisasikan terhadap populasi. Generalisasi dari sampel ke populasi mengandung resiko bahwa akan terdapat kekeliruan atau ketidaktepatan, karena sampel tidak akan mencerminkan secara tepat keadaan populasi. Makin tidak sama sampel itu dengan itu populasinya, makin besarlah kemungkinan kekeliruan dalam generalisasi itu (Sumadi Suryabrata, 2010:35).

A. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Sugiyono (2002:57) memberikan pengertian bahwa: “Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang menjadi kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Nazir (1983:327) mengatakan bahwa, “Populasi adalah berkenaan dengan data, bukan orang atau bendanya.(1985:141) menyebutkan bahwa, “Populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin, baik hasil menghitung ataupun pengukuran kuantitatif maupun kualitatif pada karakteristik tertentu mengenai sekumpulan objek yang lengkap.” Sedangkan Riduwan (2002:3) mengatakan bahwa, “Populasi adalah keseluruhan dari karakteristik atau unit hasil pengukuran yang menjadi objek penelitian.”
Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa; Populasi merupakan objek atau subjek yang berada pada suatu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu berkaitan dengan masalah penelitian. Ada dua jenis populasi, yaitu: populasi terbatas dan populasi tidak terbatas (tak terhingga).

a. Populasi Terbatas
Populasi terbatas adalah mempunyai sumber data yang jelas batasnya secara kuantitatif sehingga dapat dihitung jumlahnya.
1) Jumlah Guru SD di kota Surabaya 5000 orang.
2) Jumlah 200 siswa yang mendapat ibu asuh di Batam.
3) Jumlah 59 siswa SMU menjadi Anggota Paskibraka Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-59 Tahun 2004 di Jakarta.




b. Populasi Tak Terbatas (Tak Terhingga)
Populasi tak terbatas yaitu sumber datanya tidak dapat ditentukan batasan-batasannya sehingga relative tidak dapat dinyatakan dalam bentuk jumlah. Contoh:
1) Penelitian mencari logam mulia, di suatu daerah ada beberapa warga mendulang emas di ruangan bawah tanah sebagai mata pencahariannya, kemudian mereka mengambil logam yang mengandung emas yang tak terhingga banyaknya atau ukurannya.
2) Suatu percobaan seorang bandar akan melemparkan sepasang dadu sampai tak terhingga kali lemparan, maka setiap kali mencatat sepasang nilai yang tak terhingga pula.
3) Meneliti beberapa liter pasang surut air laut pada bulan purnama dan nilai sebagainya.

Berdasarkan sifatnya, populasi dapat digolongkan menjadi populasi homogen dan heterogen.
1) Populasi Homogen adalah sumber data yang unsurnya memiliki sifat yang sama sehingga tidak perlu mempersoalkan jumlahnya secara kuantitatif.
2) Populasi Heterogen adalah sumber data yang unsurnya memiliki sifat atau keadaan yang berbeda (bervariasi) sehingga perlu ditetapkan batas-batasnya, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Subana (2000:25) mengatakan bahwa “Hasil dari objek pada populasi yang diteliti harus dianalisis untuk ditarik kesimpulan dan kesimpulan itu berlaku untuk seluruh populasi.”
Dalam melaksanakan penelitian, walaupun tersedia populasi yang terbatas dan homogeny, adakalanya peneliti tidak melakukan penelitian pengumpulan data secara populasi, tetapi mengambil sebagian dari populasi yang dianggap mewakili populasi (representatif). Hal ini berdasarkan pertimbangan yang logis, seperti kepraktisan, keterbatasan biaya, waktu, tenaga dan adanya percobaan yang bersifat merusak (desktruktif). Contoh:
1) Mengetahui kekuatan pisau baja pemotong kain, kita tidak perlu menerapkan setiap pabrik tekstil diperiksa dan diuji kekuatan pisaunya.
2) Mengetahui daya lampu pijar merk Philips, kita tidak perlu mengunakan cara semua pabrik lampu yang bermerek Philips ditunggui dan dicatat lampu tersebut.
Dengan meneliti secara sampel diharapkan hasil yang telah diperoleh akan memberikan kesimpulan gambaran yang sesuai dengan karakteristik populasi. Jadi, hasil kesimpulan dari penelitian sampel dapat digeneralisasikan terhadap populasi.

2. Sampel
Arikunto (1998:117) mengatakan “Sampel adalah bagian dari populasi (sebagian atau wakil populasi yang diteliti). Sampel penelitian adalah sebagian dari populasi yang diambil sebagai sumber data dan dapat mewakili seluruh populasi.” Sugiyono (1997:57) memberikan pengertian “Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi.” Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bhawa: “Sampel adalah bagian dari populasi yang mmpunyai ciri-ciri atau keadaan tertentu yang akan diteliti. Karena semua data dan informasi akan diproses dan tidak semua orang atau benda akan diteliti melainkan cukup dengan menggunakan sampel yang mewakilinya. Hal ini sampel harus representatif di samping itu peneliti wajib mengerti tentang besar ukuran sampel, teknik sampling, dan karakteristik populasi dalam sampel.

a. Keuntungan menggunakan sampel antara lain:
1) Memudahkan peneliti untuk jumlah sampel lebih sedikit dibandingkan dengan menggunakan populasi dan apabila populasinya terlalu besar dikhawatirkan akan terlewati.
2) Penelitian lebih efisien (dalam arti penghematan uang, waktu, dan tenaga).
3) Lebih teliti dan cermat dalam pengumpulan data, artinya jika subjeknya banyak dikhawatirkan adanya bahaya bias dari orang yang mengumpulkan data, karena sering dialami oleh staf bagian pengumpul data mengalami kelelahan sehingga pencatatan data tidak akurat.
4) Penelitian lebih efektif, jika penelitian bersifat destruktif (merusak) yang menggunakan spesemen akan hemat dan bisa dijangkau tanpa merusak semua bahan yang ada serta bisa digunakan untuk menjaring populasi yang jumlahnya banyak. Sedangkan besar kecilnya sampel yang diambil akan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: besar biaya yang tersedia, tenaga (orang) yang ada, waktu dan kesempatan peneliti, serta peralatan yang digunakan dalam pengambilan sampel.

B. Prinsip dan Penarikan Sampel
Penarikan sampel sering kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita mau membeli jeruk di pasar, terlebih dahulu dicicipi satu atau dua buah jeruk yang akan dibeli itu untuk memastikan manis atau tidaknya. Mengambil satu atau dua buah jeruk disebut penarikan sampel atau contoh, mencicipi buah jeruk disebut analisis sampel, dan memastikan manis atau tidak adalah tugas inferensi atau kesimpulan yang ditarik terhadap seluruh buah jeruk dalam keranjang tempat diambilnya sampel. Jika sampel yang ditarik tidak mewakili atau menggambarkan seluruh populasi, maka walaupun analisis sampelnya dilakukan dengan cermat, tetapi inferensi yang dilakukan terhadap seluruh populasi tidak dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu prinsip keterwakilan (representatif) merupakan prinsip dasar pada penarikan sampel.
Jika satu buah jeruk yang dicicipi tidak mewakili semua jeruk di dalam keranjang tempat contoh itu diambil, maka tidak dapat ditarik kesimpulan yang berlaku umum terhadap populasi buah jeruk. Sebenarnya, untuk mengetahui karakteristik seluruh anggota pada populasi , setiap anggota pada populasi itu harus diamati satu per satu. Cara ini disebut metode sensus. Metode ini jarang dipakai dipakai dalam penelitian ilmiah, karena pertama memerlukan waktu yang lama dan biaya yang besar dan yang kedua metode itu bersifat deskrutif (merusak). Jika setiap buah jeruk yang dijual dicicipi satu per satu sampai habis, maka si penjual dirugikan. Karena alasan-alasan itulah metode samplimg banyak dipakai.
Masalahnya adalah bagaimana kita menarik sampel yang mewakili itu. Sering kita menganggap bahwa sampel yang kita tarik sudah menggambarkan karakteristiknya populasinya, padahal sampel tersebut bias terhadap populasi. Supaya penalikan sampel tidak bias, setiap satuan analisis dalam populasi harus mendapatkan peluang yang sama untuk ditarik menjadi anggota sampel.
Besarnya sampel yang ditarik pada populasinya tergantung pada variasi yang ada di kalangan anggota populasi. Apabila anggota populasinya homogen, maka sampel yang kecil dapat mewakili seluruh populasi. Butir-butir darah dalam tubuh kita homogen, karena setiap butir mempunyai karakteristik yang sama. Tidak menjadi soal apakah darah itu diambil dari bagian tangan, atau kaki, atau kepala, semua sama. Tetapi, apabila kita meneliti perilaku mahasiswa terhadap politik, maka variasinya di kalangan seluruh mahasiswa cukup besar, baik dilihat dari segi etnografi, atau bidang studi yang ditekuninya, atau almamater, atau agamanya. Supaya semua variasi terwakili, maka dibutuhkan sampel yang relative besar. Makin homogen suatu populasi, makin kecil sampelnya. Dan makin tinggi variasinya, makin besar sampel yang dibutuhkan.
Berkaitan dengan cara pengambilan sampel Nasution (1991:135) bahwa, “Mutu penelitian tidak selalu ditentukan oleh besarnya sampel , akan tetapi oleh kokohnya dasar-dasar teorinya, oleh desain penelitiannya, serta mutu pelaksanaan dan pengolahannya.”
Cara penarikan sampel atau teknik sampling adalah suatu cara mengambil sampel yang representatif dari populasi. Pengambilan sampel ini harus dilakukan sedemikian rupa sehingga diperoleh sampel yang benar-benar dapat mewakili dan dapat menggambarkan keadaan populasi yang sebenarnya. Ada dua macam cara pengambilan sampling dalam penelitian yang umum dilakukan yaitu:
1. probability sampling, dan
2. non probability sampling.
Pada probability sampling, derajat keterwakilan dapat diperhitungkan pada peluang tertentu. Oleh karena itu, sampel yang ditarik dengan cara ini dapat dipergunakan untuk melakukan generalisasi terhadap populasi. Ada banyak cara penarikan sampel yang tergolong dalam probability sampling ini, antara lain simple random sampling, propotionate stratified random sampling, disproproportionates stratified random sampling , cluster random sampling Penarikan setiap satuan analisis (anggota) dari populasi untuk dijadikan sampel dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1. dengan pemulihan, dan
2. tanpa pemuliahan
Misalkan kita menarik sampel sebesar 5 dari populasi beranggotakan 15 satua. Pengambilan kelima anggota itu dilakukan satu per satu, tidak lima sekaligus. Setiap klai kita mengambil 1 satuan, kita catat anggota tersebut untuk mendaftrakannya. Selanjutnya kita menghadapi dua cara, yaitu apakah satuan yang sudah terambil itu dikembalikan ke dalam populasinya, atau disimpan dulu sampai semua terambil dan dicatat dikembalikan lagi ke dalam populasi, sehingga ia berpeluang diambil untuk kedua kalinya, maka pengambilan sampel dilakuka dengan pemulihan (replacement). Setiap kali diambil, dikembalikan lagi, sampai kita memperoleh 5 anggota sebagai sampel . Tetapi, jika yang sudah terambil tidak dikembalikan sampai diperoleh 5 anggota sebagai sampel, maka cara itu disebut pengambilan sampel tanpa pemulihan.
Penarikan sampel dengan nonprobability sampling pada umumnya dilakukan untuk satu penelitian yang populasinya tidak diketahui, sehingga tidak dapat ditarik kesimpulan yang berlaku umum terhadap populasi. Karena itu istilah “sampling” pada metode ini sebenarnya tidak tepat karena kita tidak menarik sampel. Penelitian terhadap pemakai narkotik, atau yang berpenyakit jiwa, merupakan contoh penarikan sampel seperti itu karena batas-batasnya tidak diketahui.
Salah satu bentuk nonprobability sampling yang banyak dipergunakan adalah metode bola salju (snowing ball). Bola salju yang berguling dilereng gunung mula-mula kecil, tapi lama-kelamaan menjadi besar karena dalam proses berguling, butir-butir salju melekat pada dirinya. Demikian pula jika kita mempelajari gejala-gejala sosial di suatu tempat. Di lokasi ini kita mencatat ciri-ciri sosial yang akan kita teliti. Kemudian kita pindah ke tempat lain. Di tempat ini ditemukan ciri-ciri yang sebelumnya tidak ada di tempat yang pertama. Demikian seterusnya sehingga makin lengkaplah pengetahuan kita tentang ciri-ciri sosial dari topik yang diteliti. Terhadap penelitian seperti ini (dan seluruh nonprobability sampling) tidak dapat dilakukan analisis statistik inferensial.
Berikut ini akan dibahas teknik penarikan sampel pada probability sampling seperti yang telah disebutkan di atas.
C. Probability Sampling
Probability sampling adalah teknik sampling untuk memberikan peluang yang sama pada setiap anggota populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel, yang tergolong teknik probability sampling, yaitu:

1. Penarikan Sampel Secara Acak Sederhana (Simple Random Sampling)
Simple random sampling adalah cara pengambilan sampel dari anggota populasi dengan menggunakan acak tanpa memperhatikan strata(tingkatan) dalam anggota populasi tersebut. Hal ini dilakukan apabila anggota populasi dianggap homogen (sejenis). Contoh:
1) Jumlah guru SMU yang mengikuti penataran Manajemen Berbasis Sekolah di Kota Surabaya.
2) Jumlah siswa yang mendapatkan beasiswa di kota Samarinda.
3) Jumlah Pegawai Diknas kota Makasar yang dimutasi.
Guru SMU, siswa menerima beasiswa, dan pegawai Diknas itu semua merupakan populasi yang sejenis.

2. Propotionate Stratified Random Sampling
Proportionate stratified random sampling ialah pengambilan sampel dari anggota populasi secara dan berstrata secara proporsional, dilakukan sampling ini apabila anggota populasinya heterogen (tidak sejenis). Contoh:
1) Jumlah guru SD se-DIY yang mengikuti seminar pendidikan:
a) Guru Bahasa Indonesia = 25 orang
b) Guru Bahasa Inggris = 20 orang
c) Guru PPKn = 10 orang
d) Guru Matematika = 50 orang
e) Guru IPS = 35 orang
f) Guru IPA = 45 orang
g) Guru Olahraga = 10 orang
h) Guru Agama = 15 orang
i) Guru Kesenian = 15 orang
Jumlah sampel yang diambil harus sama porsinya dengan jumlah guru sesuai dengan bidang studi.
2) Penerbit Mutiara Ilmu memproduksi buku yang paling laku untuk dipasarkan ke SD se-Kota Bandung  = 60,  = 110, = 190.
Jumlah sampel yang diambil harus sama dengan judul buku .

3. Disproproportionate Stratified Random Sampling
Disproproportionates Stratified random sampling ialah pengambilan sampel dari anggota populasi secara acak dan berstrata tetap sebagian ada yang kurang proporsional pembagiannya, dilakukan sampling ini apabila anggota populasi heterogen (tidak sejenis). Contoh:
1) Jumlah Pegawai pada Dinas Pendidikan Kota Medan
a) Kepala Dinas Pendidikan = 1 orang
b) Kasubag Tata Usaha = 1 orang
c) Kepala Seksi pada Dinas = 10 orang
d) Kepala Sub Seksi pada Dinas = 20 orang
e) Kepala Urusan pada Dinas = 15 orang
f) Kepala Cabang Dinas = 10 orang
g) Kepala Urusan pada Cabang Dinas = 25 orang
h) Kepala Sub Seksi pada Cabang Dinas = 30 orang
i) Pelaksana/Staf = 158 orang
Dari jumlah pegawai yang berasal dari Kepala Dinas Pendidikan = 1 orang dan Kasubag Tata Usaha = 1 orang tersebut diambil dijadikan sampel karena terlalu kecil bila dibandingkan dengan staf lain.
2) Jumlah pegawai pada Perusahaan Percetakan IKAPI Jakarta
a) Direktur Utama = 1 orang
b) Kepala Departemen = 2 orang
c) Kepala Divisi = 25 orang
d) Kepala Bidang = 250 orang
e) Kepala Cabang = 500 orang
f) Kepala Karyawan = 3.500 orang
Dari jumlah karyawan yang berasal dari Direktur Utama = 1 orang dan kepala Departement = 2 orang tersebut diambil dijadikan sampel karena terlalu sedikit bila dibandingkan dengan bagian lain.

4. Area Sampling (Kluster Sampling)
Area Sampling (Kluster Sampling) ialah teknik sampling yang dialkukan dengan cara mengambil wakil dari setiap wilayah geogerafis yang ada. Contoh: Peneliti akan melihat pelaksanaan MBS SD se-Indonesia. Karena wilayah cukup luas terdiri dari 33 provinsi dan masing-masing berbeda kondisinya, maka peneliti mengambil sampel dari SD tingkat provinsi, SD tingkat provinsi dari SD tingkat kabupaten/kota, SD tingkat kabupaten/kota terdiri dari SD tingkat kelurahan desa yang akan melaksanakan MBS.
Teknik untuk mendapatkan sampel kluster mula-mula secara acak diambil sampel yang terdiri dari SD tingkat provinsi, dan tiap SD tingkat provinsi dalam sampel, disebut SD tingkat kabupaten/kota sampel, secara acak diambil SD tingkat kecamatan. Banyaknya kecamatan yang dimbil dari SD tiap kabupaten /kota sampel mungkin sama banyak mungkin pula berbeda. Setelah didapat SD tingkat kecamatan sebagai sampel. Kemudian dari tiap SD tingkat kecamatan sampel secara acak diambil SD tingkat kelurahan/desa, untuk mendapatkan SD tingkat kelurahan/desa sampel selanjutnya dari tiap desa sampel diambil secara acak.
Akhirnya dari tiap SD tingkat kelurahan/desa sampel inilah setelah semuanya digabungkan yang menjadi anggota sampel kluster, yaitu kepada siswa SD tingkat kelurahan/desa yang akan melaksanakan MBS, dengan demikian hasilnya akan mencerminkan pelaksanaan MBS se-Indonesia.

Selasa, 16 Maret 2010

HIPOTESIS

A. Pengertian
Hipotesis (hypo = sebelum; thesis- pernyataan, pendapat) adalah suatu pernyataan yang pada waktu diungkapkan belum diketahui kebenarannya, tetapi memungkinkan untuk diuji dalam kenyataan empiris. Hipotesis memungkinkan kita menghubungkan teori dengan pengamatan, atau pengamatan dengan teori. Hipotesis mengemukakan”pernyataan tentang harapan peneliti mengenai hubungan-hubungan antara variabel-variabel di dalam persoalan.”1 Sebagai contoh dapat dimulai dengan sebuah pertanyaan: apakah tamatan SMU yang memiliki nilai UAN tertinggi akan mampu menyelesaikan studi di perguruan tinggi dalam waktu yang relatif lebih cepat? Pertanyaan ini dapat kita ubah menjadi pernyataan sebagai berikut: ada hubungan positif antara nilai UAN di SMU dan prestasi belajar mahasiswa di perguruan tinggi. Kalimat yang terakhir ini adalah bentuk suatu hipotesis yang menghubungkan dua variabel, yaitu nilai UAN dan prestasi belajar. Dengan demikian hipotesis ini memberikan arah pada penelitian yang harus dilakukan oleh peneliti. Fungsi hipotesis yang seperti ini menurut Ary Donald adalah:

1. Memberikan penjelasan tentang gejala-gejala serta me-mudahkan perluasan pengetahuan dalam suatu bidang.
2. Mengemukaka pernyataan tentang hubungan dua konsep yang secara langsung dapat diuji dalam penelitian.
3. Memberi arah pada penelitian.
4. Memberikan kerangka pada penyusunan kesimpulan penelitian.2

Supaya fungsi-fungsi tersebut dapat berjalan secara efektif, maka ada faktor-faktor yang perlu diperhatikan pada penyusunan hipotesis.
1. Hipotesis disusun dalam kalimat deklaratif. Kalimat itu bersifat positif dan normatif.
Istilah-istilah seperti seharusnya atau sebaliknya tidak terdapat dalam kalimat hipotesis.
Contoh: Anak-anak harus hormat kepada orang tua. Kalimat ini bukan hipotesis. Lain halnya jika dikatakan demikian: Kepatuhan anak-anak kepada orang tua mereka makin menurun.
2. Variabel (variabel-variabel) yang dinyatakan dalam hipotesis adalah variabel yang operasional, dalam arti dapat diamati dan diukur.
3. Hipotesis menunjukkan hubungan tertentu di antara variabel-variabel.

B. Menyusun Hipotesis
Hipotesis dapat disusun dengan dua pendekatan, yang pertama secara deduktif, dan yang kedua secara induktif. Penyusunan hipotesis secara deduktif ditarik dari teori. Suatu teori terdiri atas proposisi-proposisi, sedangkan proposisi menunjukkan antara hubungan dua konsep. Proposisi ini merupakan postulat-postulat yang dari padanya disusun hipotesis. Penyusunan hipotesis secara induktif bertolak dari pengamatan empiris.

Hipotesis dapat juga disusun secara induktif. Dari pengalaman kita masa lampau, kita mengetahui bahwa kecelakaan-kecelakaan kendaraan bermotor di jalan raya kebanyakan disebabkan oleh supir yang menjalankan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Bertolak dari pengalaman ini kita menyusun hipotesis: Ada hubungan positif antara kecepatan laju kendaraan dengan kecelakaan lalu lintas.
Sehubungan dengan penyusunan hipotesis ini, Deobold B. Van Dallen mengemukakan postulat-postulat yang diturunkan dari dua jenis asumsi, yaitu postulat-postulat yang disusun berdasarkan asumsi alam, dan postulat-postulat berdasarkan asumsi proses psikologi. Postulat-postulat yang bersumber dari kenyataan-kenyataan alam adalah:

1. Postulat Jenis ( Natural Kinds)
Ada kemiripan di antara obyek-obyek individual tertentu yang memungkinkan merekauntuk dikelempokkan ke dalam satu kelas tertentu. Ada kelompok orang berkulit putih, ada kelompok orang berkulit hitam, dan ada kelompok warna lain. Dengan postulat ini, kita dapat menyusun hipotesis terhadap objek pengamatan tertentu, apakah ia termasuk dalam kelompok x atau y.
2. Postulat Keajekan (Constancy)
Di alam ini ada hal-hal yang menurut pengamatan kita selalu berulang dengan pola yang sama. Misalnya, pada waktu-waktu yang lalu kita menyaksikan bahwa matahari selalu terbit disebelah timur dan terbenam di sebelah barat. Berdasarkan pengetahuan dan pengalaman ini kita mempunyai alasan untuk menduga bahwa besok matahari terbit di sebelah timur.
3. Postulat Determinisme
Suatu kejadian tidak terjadi secara kebetulan, tetapi ada penyebabnya. Sebuah benda jatuh ke bawah dan dilepaskan dari suatu ketinggian karena ia ditarik oleh gravitasi bumi. Demikian juga kecelakaan lalu lintas di jalan raya tidak terjadi secara kebetulan, tetapi ada penyebabnya. Ada postulat sebab akibat yang menyatakan bahwa suatu peristiwa terjadi karena sesuatu atau beberapa sebab. Postulat ini dipakai untuk menyusun suatu hipotesis untuk menerangkan peristiwa tertentu.

C. Kerangka Hipotesis
Jumlah variabel yang tercakup dalam suatu hipotesis dan bentuk hubungan di antara variabel-variabel itu sangat menentukan dalam menentukan alat uji hipotesis. Hipotesis yang hanya terdiri atas satu variabel akan diuji dengan univariate analysis. Contoh-contoh hipotesis seperti itu adalah:
1. Persepsi remaja terhadap kepemimpinan yang demokratis cukup tinggi.
2. Prestasi studi mahasiswa di tahun pertama cukup rendah.

Variabel persepsi remaja pada contoh pertama adalah variabel ordinal, sedangkan variabel prestasi studi pada contoh kedua adalah variabel interval. Pengukuran variabel ini menentukan pemilihan alat uji hipotesis.

Ada juga hipotesis yang mencakup dua variabel, yang akan diuji melalui bivariate analysis. Contoh:
1. Ada hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap kepemimpinan dengan pola asuh dalam keluarga di kalangan remaja.
2. Ada hubungan positif antara motivasi belajar dan prestasi studi di kalangan mahasiswa.

Contoh pertama menghubungkan dua variabel yang sama-sama diukur pada skala nominal, sedangkan contoh kedua menghubungkan dua variabel di mana variabel yang satu diukur pada skala interval dan yang satunya pada skala ordinal.

Salah satu variabel pada hipotesis dengan bivariate analysis itu berfungsi sebagai variabel yang dijelaskan atau vraiabel tidak bebas, dan yang satunya berfungsi sebagai variabel yang menerangkan variabel bebas. Satu variabel dapat dijelaskan oleh seperangkat variabel bebas secara bivariate. Misalkan variabel y dapat diterangakan oleh x1, tetapi juga dapat diterangkan oleh x2 terlepas dari xi; dan dapat juga dijelaskan oleh variabel x3 terlepas dari x1 dan x2. Ketiga variabel bebas yang menerangkan variabel tidak bebas (y) itu terdiri atas 3 hipotesis, yaitu:

Hipotesis 1 : Ada hubungan antara x1 dan y.
Hipotesis 2 : Ada hubungan antara x2 dan y.
Hipotesis 3 : Ada hubungan antara x3 dan y.



D. Model Relasi
Hubungan variabel dengan variabel dalam suatu hipotesis mempunyai model yang berbeda-beda. Pengertian hubungan di sini tidak sama dengan pengertian hubungan dalam pembicaraan sehari-hari. Hubungan di sini diartikan sebagai relasi, yaitu himpunan dengan elemen yang terdiri dari pasangan urut. Himpunan yang demikian dibentuk dari dua himpunan yang berbeda. Misalkan himpunan yang satu adalah A, yang terdiri atas nama-nama mahasiswa: Yosef (Y), Maria (M), Ruben (R), Emanuel (E), dan Agape (A),. Himpunan yang lain adalah B, yang terdiri atas elemen-elemen nilai: 8,7,5,6 dan 7. Dari kedua himpunan itu disusun himpunan baru sebagai hasilm relasi dari A ® B. himpunan baru ini kita namakan C di mana setiap elemennya terdiri dari pasangan elemen A dan B. Pasangan itu disebut pasangan urut karena yang pertama selalu diambil dari elemen A dan yang kedua diambil dari elemen B. Pasangan-pasangan itu ditentukan oleh definisi relasi. Misalnya, A mempunyai nilai tes ekonomi pada B. dengan definisi A dipasangkan dengan B menurut anak panah.

Himpunan C tampak sebagai berikut: C = {(Y,7), (M,8), /jt,6), (E,7), (A,5)}. Himpunan C inilah yang dimaksud dengan relasi, yaitu relasi A ke B. Kalau kita katakan “ Baju si A merah,” maka pertanyaan ini hanyalah salah satu elemen dari relasi variabel “mahasiswa” terhadap variabel “warna baju,” yaitu (A, merah). Masih ada elemen lain lagi dalam himpunan itu, misalnya (B, putih) dan (C, hijau). Relasi tersebut dapat ditulis: M = {(A, merah), (B, putih), (C, hijau), (D, putih), (E, kuning)}.

Hubungan variabel-variabel pada hipotesis dapat digolongkan dalam 3 model , yaitu:
1. Model kontingensi;
2. Model asosiatif;
3. Model fungsional.

1. Model Kontigensi
Hubungan dengan model kontigensi dinyatakan dalam bentuk tabel silang. Misalnya hubungan di antara variabel “agama” dan variabel “partai politik” pada pemilu 1997. Kita ingin mengetahui hubungan antara agama dan politik pada tahun 1997 di daerah tertentu.
Variabel “Partai Politik” dengan kategorinya adalah variabel nominal, dan variabel “Agama” dengan kelima kategorinya juga nominal. Dengan menyilangkan kedua variabel, maka didapat 3x5 = 15 kontingen dalam hubungan itu. Isi masing-masing kontingen dapat juga dibuat dalam bentuk persentase atau proporsi. Model kontigensi ini mempunyai bentuk umum: b x k (baris x kolom). Tabel 3x2 misalnya adalah tabel yang terdiri atas 3 baris dan 2 kolom.

2. Model Asosiatif
Model ini terdapat di antara dua variabel yang sama-sama ordinal, atau sama-sama ratio, atau salah satu adalah ordinal atau interval. Variabel-variabel itu mempunyai pola monoton linier. Artinya perubahan dari variabel yang bersangkutan bergerak naik terus kembali , atau sebaliknya turun terus tanpa naik kembali.
Hubungan kedua variabel tersebut disebut juga hubungan kovarasional, artinya berubah bersama. Jika variabel x berubah menjadi makin naik, maka variabel y juga berubah makin naik atau makin turun. Jika kedua varibel berubah kea rah yang sama, maka hubungan itu disebut hubungan positif. Keduanya bisa sama-sama naik, artinya jika x naik, bersamaan dengan itu y juga naik; atau keduanya sama-sama turun, jika x turun, y juga turun. Hubungan itu dikatakan negatif jika kedua variabel berubah pada arah yang berlawanan. Jika x naik, y turun; atau sebaliknya, jika x turun, y naik.
Hubungan asosiatif atau kovarasional atau korelasi bukanlah hubungan sebab akibat, tetapi hanya menunjukkan bahwa kedua-duanya sama-sama berubah.

3. Hubungan Fungsional
Hubungan fungsional adalah hubungan antara suatu variabel yang berfungsi di dalam variabel lain. Misalnya hubungan antara “obat’” dan “penyakit.” Obat dikatakan fungsional jika ia bisa menyembuhkan penyakit. Berbeda dengan hubungan asosiatif di mana kedua variabel berdampingan satu sama lain, pada hubungan fungsional variabel yang satu (independent) berfungsi di dalam variabel lain (dependent), sehingga variabel dependent mengalami perubahan.
Hubungan fungsional adalah hubungan korelasional, tetapi hubungan korelasional belum tentu hubungan fungsional. Jika hubungan korelasi itu cukup tinggi (erat), maka dapat diduga bahwa ada hubungan fungsional di antara kedua variabel.

E. Hipotesis Nol
Pembuktian hipotesis dilakukan dengan mengumpulkan data yang relevan dengan variabel-variabel yang bersangkutan. Proses pengujian hipotesis itu dapat disamakan dengan peng-adilan suatu perkara pidana. Di sana ada jaksa sebagai pe-nuntut umum yang membawa terdakwa ke depan hakim dengan bukti-bukti berupa data yang telah dikumpulkannya. Data tersebut dikumpulkan dengan bertitik tolak pada hipo-tesisnya bahwa orang yang bersangkutan bersalah. Hipotesis jaksa inilah yang mirip dengan hipotesis yang disusun oleh peneliti, tetapi data tersebut harus diuji oleh hakim. Untuk itu hakim harus bertolak dari sikap praduga tak bersalah. Artinya, hakim tidak memihak kepada jaksa atau pun terdakwa. Sikap seperti ini juga merupakan syarat bagi wasit dalam memimpin suatu pertandingan. Asas praduga tak bersalah inilah yang dimaksud dengan hipotesis nol dalam penelitian ilmiah.
Hipotesis seperti ini kita temukan pada hubungan antara dua bilangan, misalnya a dan b. Hubungan itu bisa a > b, atau a < b, atau a = b. Kalau hipotesis memyatakan bahwa a > b, maka hipotesis nol adalah negasinya, dan pernyataan yang mengatakan a > b (a lebih besar daripada b) adalah tidak benar. Ini berarti
a < b atau a = b. Kalau hipotesisnya berbunyi a lebih besar atau sama dengan b, maka hipotesisnya nol adalah a < b. Dengan demikian jika a < b itu tidak benar, maka yang benar pasti a = b atau a > b. Dengan kata lain, jika hipotesis nol itu ditolak, maka alternatifnya adalah hipotesis peneliti harus diterima.
Dengan demikian kita mempunyai dua macam hipotesis, yaitu hipotesis operasional yang diharapkan oleh peneliti dan hipotesis nol. Hipotesis operasional disebut juga hipotesis alternatif dari hipotesis nol. Dalam proses pengujian hipotesis, yang akan diuji adalah hipotesis nol. Kalau hipotesis nol itu diterima, maka hipotesis alternatif harus ditolak. Sebaliknya, jika hipotesis nol ditolak, maka hipotesis alternatif harus diterima. Hipotesis nol diberi notasi Ho dan hipotesis alternatif diberi notasi HI.
Contoh:
Hipotesis 1 : Prestasi studi mahasiswa tahun pertama rendah.
Hipotesis 2 : Ada hubungan positif antara prestasi belajar dan motivasi belajar di kalangan mahasiswa tahun pertama.
Hipotesis 3 : Ada hubungan antara prestasi belajar dan kebiasaan belajar mahasiswa tahun pertama.

Catatan:
1. Ary Donald. 1982. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan, V terjemahan Arif Furchan dari judul asli Introduction to Research in Education. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional, hlm. 120.
2. Ibid., hlm, 121-122.

Senin, 08 Maret 2010

KONSEPTUALISASI MASALAH PENELITIAN

A. PERUMUSAN MASALAH

Konseptualisasi adalah proses pembentukan konsep dengan bertitik tolak pada gejala-gejala pengamatan. proses ini berjalan secara induktif, dengan mengamati sejumlah gejala secara individual, kemudian merumuskannya dalam bentuk konsep. konsep bersifat abstrak.

Konsep berada dalam bidang logika (teoritis), sedangkan gejala berada dalam dunia empiris (faktual). Memberikan konsep pada gejala itulah yang disebut dengan konseptualisasi. Konsep bersifat abstrak dan dibentuk dengan menggene-realisasikan hal-hal yang khusus. Babbie mengatakannya sebagai the process through which we specify precisely what we mean when we use particular terms (proses dengan mana kita member nama yang khusus secara tepat yang menggambarkan apa yang kita maksudkan).

Proses ini diawali dengan mengungkapkan permasalahan penelitian, latar belakangnya, perumusannya, dan signifikansinya. Masalah sebagai kesenjangan yang ada di antara kenyataan dan harapan perlu dirumuskan secara eksplisit. Masalah tersebut dapat ditangkap dari keluhan-keluhan yang ada dalam lingkungan sosial yang bersangkutan. Gejala-gejala khusus dari masalah ini diungkapkan secara jelas, untuk kemudian konsepnya dirumuskan secara operasional. Akhirnya, perlu juga diungkapkan mengapa masalah itu penting untuk diteliti, baik dari segi akademis maupun dari segi praktis. Dari segi kepentingan akademis, suatu penelitian bisa mengukuhkan teori yang ada, atau menyangkalnya, atau merevisinya. Sedangkan kepentingan praktis berhubungan dengan pentingnya penelitian itu dalam pengembangan program atau pekerjaan tertentu.

Konseptualisasi penelitian tidak hanya merumuskan masalah, tetapi juga mengungkapkan cara-cara tentang bagaimana masalah tersebut diteliti. Dengan demikian terdapat dua masalah pokok yang akan dijelaskan dalam konseptualisasi penelitian itu, yaitu penjelasan tentang subtansi yang diteliti (aspek subtantif), dan penjelasan tentang khusus dalam penelitian (research design). Suatu masalah dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek empiris dan aspek logis atau rasional. Suatu peristiwa bisa disebut masalah jika terdapat kesenjangan antara apa yang ada dan apa yang seharusnya, antara kenyataan yang ada dan apa yang diharapkan. Dilihat dari apa yang diharapkan itu, masalah dapat dikelompokkan ke dalam 3 kategori, yaitu:

1. masalah filosofis,

2. masalah kebijakan, dan

3. masalah ilmiah.

Suatu masalah dapat dikatakan masalah filosofis jika gejala-gejala empirisnya tidak sesuai dengan pandangan hidup yang ada dalam masyarakat. Gejala-gejala hubungan seks sebelum nikah di kalangan remaja termasuk dalam kategori ini, karena nilai-nilai yang berlaku di kalangan remaja itu tidak sesuai dengan norma-norma keagamaan yang dianut oleh masyarakat.

Masalah yang tergolong dalam masalah kebijakan adalah perilaku-perilaku atau kenyataan-kenyataan yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh si pembuat kebijakan. Bantuan Inpres IDT yang tidak mencapai sasaran, kualitas pendidikan yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikan, adalah contoh-contoh yang termasuk dalam kategori ini.

Masalah yang tergolong dalam kategori masalah ilmiah adalah kenyataan-kenyataan yang tidak sesuai dengan teori ilmu pengetahuan. Salah satu teori dalam ilmu pendidikan yang dikenal dengan “teori hukuman” mengatakan bahwa hukuman yang diberikan kepada anak akan perilakunya ke arah positif. Tetapi dalam kenyataannya, anak-anak yang diberi hukuman itu perilakunya justru semakin mengarah pada hal-hal yang negatif, bahkan hukuman itu menanamkan dendam kepada gurunya. Masalah seperti ini termasuk masalah ilmiah.

Masalah sosial menampakkan diri pada conflict issue yang dapat ditangkap dari peristiwa-peristiwa yang ada dalam masyarakat. Isu-isu seperti itu dapat ditangkap melalui pengamatan langsung, atau dari surat kabar, atau media massa lainnya, atau dari pokok-pokok pembicaraan yang berkembang dalam masyarakat. Pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan membantu kita mengetahui pokok permasalahan dari isu tersebut. Seperangkat gejala umum perlu dipelajari untuk bisa menemukan isu seperti “demokrasi,” kualitas sumber daya manusia,” “pengangguran di kalangan generasi muda,” “kualitas pendidikan,” “relevansi pendidikan,” dan sebagainya. Bertitik tolak dari isu tersebutkita berusaha merumuskan masalah yang menjadi fokus penelitian kita.

B. Variabel

Sebelumnya telah disebutkan bahwa konseptualisasi adalah proses memberi konsep pada gejala-gejala yang dipermasalahkan. Konsep bersifat abstrak, tetapi menunjuk pada objek-objek tertentu yang konkret. Objek yang konkret itu bersifat individual, yang berbeda satu dengan yang lain. Jika kita mengamati orang-orang yang kita jumpai, maka tidak ada dua orang yang sama persis di antara mereka. Setiap orang berbeda dengan yang lain. Sifat dari objek-objek yang yang berbeda-beda itu adalah:

1. Mempunyai ciri umum yang sama, yang membuat mereka mirip satu sama lain, sehingga semuanya dapat ditampung dalam satu definisi.

2. Setiap objek berbeda, masing-masing mempinyai ciri tersendiri yang membedakannya dengan objek lain. Perbedaan-perbedaan itulah yang membuat objek-objek itu bervariasi, karena disebut variabel.

3. Perbedaan-perbedaan pada setiap objek terletak pada ukuran masing-masing, baik ukuran yang bersifat kuantitatif maupun yang bersifat kualitatif. Karena ukuran yang berbeda-beda itulah maka konsep disebut variabel, seperti yang dikatakan oleh Kerlinger, variables is a property that takes on different values….A variable is a symbol which numerals or values are assigned.”1

Suatu konsep disebut variabel jika ia menampakkan variasi pada objek-objek yang ditunjuknya. Jadi, konsep bukan variabel yang tidak tampak pada variasi pada objek-objek itu.

Di antara konsep yang abstrak dan objek-objek individual yang konkret terdapat suatu penghubung yang menunjukkan objek-objek yang dapat dimasukkan ke dalam konsep yang bersangkutan. Konsep “mahasiswa,” contohnya. Siapa saja yang dapat digolongkan ke dalam konsep ini? Apakah si A yang belajar di SMU yang temasuk dalam konsep ini, atau si B yang bekerja di sebuah kantor, atau si C yang mengajar di sebuah SD? Kita membutuhkan suatu petunjuk untuk dapat melakukan tugas tersebut. Misalnya, orang yang telah terdaftar untuk mengikuti pelajaran di suatu perguruan Tinggi yang dapat diketahui siapa yang dimaksud dengan mahasiswa. Dalam hal ini kartu mahasiswa itu disebut indikator empiris terhadap konsep mahasiswa.

Indikator empiris ini sifatnya dapat diamati. Suatu indikator empiris belum tentu dapat menunjukkan seluruh makna yang terkandung dalam konsep tertentu. Misalnya, “sepeda” dengan indikatornya adalah “kendaraan roda dua.” Tetapi, bukanlah ada juga sepeda roda tiga, dan ada juga kendaraan roda dua yang bukan yang bukan sepeda? Jadi, indikator tersebut belum tentu seluruhnya menangkap konsep “sepeda”. Oleh karena itu, suatu konsep bisa memiliki lebih dari satu indikator empiris.

Dengan indikator empiris itu kita merumuskan variabel secara operasional. Definisi operasional dirumuskan sedemikian rupa sehingga ia bisa berfungsi sebagai petunjuk untuk menemukan data yang tepat dalam dunia empiris. Misalnya kita melihat empat buah bilangan, yaitu 2,4,6, dan 8. Sekarang kita rumuskan dalam satu istilah keempat bilangan itu? Kalau disimpulkan bahwa keempat bilangan itu adalah bilangan genap dengan definisi bilangan yang dibagi habis dua, maka apakah dengan definisi tersebut dapat kita temukan kembali keempat bilangan itu? Contoh lain: 4, 6 , 10, 18, 20. Semua bilangan ini adalah bilangan genap jadi memenuhi definisi tadi. Tetapi, bilangan yang kita lihat tadi bukanlah 4, 6, 10, 18, dan 20, melainkan 2, 4, 6, dan 8. Berarti definisi kita itu tidak benar.

Memang keempat bilangan itu adalah bilangan genap, tetapi tidak semua bilangan genap tersebut termasuk dalam pengamatan kita. Perhatikan kembali konseptualisasi dari Babbie: “…the process through which we specify precisely what we mean when we use particular terms. “Merumuskan istilah yang tepat, tidak berkelebihan dan tidak berkurangan. Definisi bilangan genap pada bilangan di atas adalah definisi yang berkelebihan, tidak tepat. Defenisi yang tepat untuk pengamatan 2, 4, 6, dan 8 adalah “kelipatan dua di bawah 10.” Dengan definisi ini, maka tidak ada yang lain kecuali 2, 4, 6, dan 8. Bukan 2, 4, 10, dan 12, karena ada bilangan yang tidak memenuhi definisi.

Definisi operasional suatu variabel tidak boleh dirumuskan dalam bentuk sinonim. Kalau definisi variabel kerajinan belajar dirumuskan sebagai “kerajinan belajar adalah ketekunan siswa untuk mempelajari bahan pelajaran,” maka di sini tedapat dua istilah yang setara, yaitu kerajinan dan ketekunan. Seharusnya istilah ketekunan berfungsi sebagai penjelas bagi kerajinan, karena itu seharusnya ia bukan konsep, tetapi indikator. Namun, dalam definisi ini ketekunan adalah konsep, sama dengan kerajinan yang juga adalah konsep. Jadi, ketekunan sinonim dengan kerajinan.

Istilah kerajinan harus diterangkan dengan indikator. Ciri indikator adalah teramati dan terukur. Dengan menggunakan indikator tersebut, kita merumuskan variabel kerajinan belajar sebagai berikut: “Kerajinan belajar mahasiswa adalah banyaknya waktu yang diukur dalam jam per minggu yang dipergunakan oleh mahasiswa untuk membaca bahan-bahan yang relevan dengan program studinya.” Di sini kegiatan membaca adalah indikator, dan jumlah jam adalah pemgukuran. Tampak bahwa definisi operasional terhadap vaiabel atau konsep ini berbeda dengan definisi yang kita temukan dalam buku teks atau dalam kamus. Definisi dalam buku-buku teks atau kamus itu disebut definisi konstitutif atau definisi nominal. Untuk melihat perbedaan di antara kedua bentuk definisi itu, perhatikan definisi dari konsep-konsep berikut.

Konsep

Definisi Nominal

Definisi Operasional

Motivasi

Motivasi adalah kekuatan dorongan dalam yang ada pada diri seseorang untuk bertindak dengan cara-cara tertentu.2

Motivasi adalah derajat kesungguhan kerja pada seseorang anggota dalam suatu organisasi.3

Kenakalan remaja

Setiap orang yang berumur antara 7 dan 16 sampai 18 yang melanggar ketentuan, peraturan, atau undang-undang.

Setiap orang yang dijatuhi putusan oleh pengadilan sebagai pelaku kenakalan remaja

Atau:

Setiap orang yang berusia 7 sampai 18 tahun yang dalam daftar diri menyatakan bahwa ia telah melakukan satu atau lebih tindak dalam tercantum dalam daftar itu.

Kepuasan kerja

Perasaan-perasaan positif seseorang pekerja mengenai pekerjaannya.

Dengan lima dimensi kerja, supervisi, gaji, promosi, dan kawan sekerja, Smith menyusun sekumpulan pertanyaan untuk setiap dari lima dimensi tersebut yang dijawab dengan ya atau tidak

1. Variabel Dependen dan Variabel Independen

Variabel dependen disebut juga variable tidak bebas, dan variabel independen disebut variabel bebas. Suatu variabel disebut dependen atau tidak bebas jika nilai atau harganya ditentukan oleh satu atau beberapa variabel lain. Dalam hubungan ini variabel ini disebut variabel independen atuau variabel bebas.

2. Variabel Kontinu dan Variabel Deskrit

Kedua jenis variabel ini berbeda dalam cara peng-ukurannya. Variabel kontinu dapat diukur dengan bilangan kontinu, sedangkan variabel deskrit hanya bisa diukur dengan bilangan deskrit. Variabel-variabel berat, panjang, dan umur termasuk variabel kontinu karena dapat diukur dengan bilangan bulat seperti 1, 2, 4, dan seterusnya.

C. Skala Pengukuran

Selain bisa diamati, sifat kedua dari indikator empiris adalah dapat diukur pada skala tertentu. Pengukuran itu paling sedikit bertujuan untuk membedakan yang satu dengan yang lain, misalnya bahwa yang satu lebih besar atau lebih kecil daripada yang lain, bahwa yang satu itu 10 kg dan yang lain itu 8 kg. Untuk melakukan tugas pengukuran dibutuhkan alat, dan pada alat itu terdapat skala yang dapat diterapkan pada setiap objek yang akan diukur. Alat yang ukur yang dipakai untuk mengukur objek haruslah konsisten sehingga hasilnya dapat dipercaya. Selain itu alat ukur yang diukur haruslah valid.

Dengan syarat-syarat seperti ini maka pengukuran adalah suatu proses pemberian angka pada objek dalam skala tertentu. Mengukur suatu variabel dapat dilakukan pada salah satu dari 4 skala pengukuran, yaitu (1) skala nominal, (2) skala ordinal, (3) skala interval, dan (4) skala ratio.

1. Skala Nominal

Skala nominal ini dapat diterapkan pada setiap variabel karena skala ini berfungsi untuk membedakan. Setiap objek pada variabel yang diukur adalah setatar, namun berbeda satu dengan yang lain. Status seks adalah suatu variabel yang apabila diterapkan pada setiap objek maka ada dua macam jenis seks yang mempunyai derajat yang sama, yaitu laki-laki dan perempuan. Membedakan antara laki-laki dan perempuan adalah skala nominal. Tolok ukur yang dipakai untuk mengukurnya adalah indikator empiris dari variabel yang bersangkutan. Untuk itu disediakan dua angka, yaitu angka 1 untuk laki-laki, dan 2 untuk perempuan, atau sebalikya 1 untuk perempuan dan 2 untuk laki-laki. Angka ini tidak menunjukkan bahwa 2 lebih besar daripada 1, atau 1 lebih utama dari 2. Angka 1 dan 2 hanyalah simbol untuk membedakan dua hal yang sama. Contoh-contoh ini menjelaskan ciri-ciri dari skala nominal, yaitu (1) bersifat deskriminatif (membedakan), (2) bersifat ekualitas dalam arti bahwa angka 1 dapat ditukar dengan angka 2, dan (4) pengategoriannya bersifat tuntas.

2. Skala Ordinal

Seperti halnya skala nominal, skala ordinal juga menunjukkan perbedaan antara kategori yang satu dengan kategori yang lainnya. Namun, perbedaan itu bukan perbedaan yang setatar, tetapi perbedaan jenjang atau tingkat. Kalau variabelnya adalah “status ekonomi,” maka kategori-kategorinya adalah: (1) kelas ekonomi lemah, diberi angka 3. Angka 1, 2, dan 3 bukan membedakan hal yang sama, tetapi perbedaan jenjang. Bahwa 1 = 2 = 3 adalah tidak benar, tetapi bahwa 1<> 2 > 1 adalah benar. Selisih antara 3 dan 2 tidak selalu sama dengan selisih antara 2 dan 1. Oleh karena itu, bilangan-bilangan itu tidak bisa dijumlahkan atau dikurangkan.

3. Skala Interval

Skala pengukuran ini menunjukkan pula perbedaan seperti pada skala nominal dan skala ordinal. Perbedaannya adalah bahwa interval antara 1 dan 2, antara 2 dan 3, dan seterusnya adalah sama. Misalnya, variabel “umur” yang dapat diukur dalam tahun. Kalau dalam objek pengamatan kita ada yang berumur 21 tahun, ada yang 22 tahun, ada yang 23 tahun, dan seterusnya, maka perbedaan antara 22 dan 23. Karena itu, terhadap bilangan-bilangan itu dapat dialkukan pekerjaan penambahan atau pengurangan. Ciri lain dari skala ini adalah titik nolnya bersifat arbitrer. Umur ayah dan umur anaknya diukur dari titik nol yang berbeda, yaitu pada tahun kelahiran masing-masing. Karena sifatnya yang demikian ini maka angka-angka ini tidak multiplier.

4. Skala Ratio

Skala ini sama dengan skala interval, kecuali bahwa titik nolnya bersifat mutlak. Berat yang diukur dengan gram mempunyai titik nol yang sama di mana saja dan kapan saja. Karena itu sifatnya multiplier.

Dilihat dari segi kehalusan pengukuran, skala ratio adalah yang paling tinggi, disusul dengan skala interval, kemudian skala ordinal, dan yang terakhir skala nominal. Akan tetapi, pada umumnya, skala nominal tidak bisa diubah pada skala ordinal, skala ordinal tidak bisa diubah pada skala interval, dan skala interval tidak bisa diubah pada skala ratio.

Catatan:

1. Kerlinger, Fred N. 1973. Foundation of Behavioral Research. New York: Holt Rinehart and Winston

2. Bandingkan Yelon, Stephen L. et al. 1997. A Theachers World Psychology in Classroom. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha, hlm. 294.

3. Price, James L. 1972. Handbook of Organizational Measurement. Toronto: D.C. Heath and Company, hlm. 138.

Senin, 01 Maret 2010

PENELITIAN SEBAGAI PROSES ILMIAH

A. Hakikat penelitian
Penelitian atau riset pada hakikatnya bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang sesuatu yang dianggap benar melalui proses bertanya dan menjawab. Tetapi, antara bertanya dan menjawab terdapat suatu proses yang menentukan mutu jawaban yang diperoleh. Penelitian bertitik tolak dari pertanyaan yang muncul karena adanya keraguan,1dan keraguan ini yang menjadi dasar permulaan ilmu pengetahuan. Dari pertanyaan muncul suatu proses untuk memperoleh jawaban, yaitu jawaban yang dipercaya sebagai kebenaran walaupun sifat kebenarannya sementara. Jawaban yang diperoleh melalui proses seperti itu pada gilirannya akan dipertanyakan kembali, yang akan dijawab lagi melalui proses penelitian.
Proses itu dilakukan secara deduksi dan induksi, sistematis, terkendali, empiris, dan kritis. Jawaban yang akan diperoleh melalui proses penelitian harus mampu memberikan penjelasan terhadap peristiwa-peristiwa empiris yang dipertanyakan. Jika seorang ilmuan berhadapan dengan masalah-masalah yang bersangkutan. Sebaliknya, jika ia menyusun suatu teori yang sifatnya sangat abstrak, maka teori itu harus berhubungan dengan realita di mana teori itu dipergunakan. Dengan kata lain teori itu harus disusun secara logis dan rasional.

B. Kategori Penelitian
Meneliti atau mengadakan riset (research), kendatipun secara umum berada dalam wacana keilmuan, tetapi tidak berarti hanya kaum akademi saja yang memperaktekkan kegiatan tersebut. Ada kalanya di kalangan awam terlibat kepada kegiatan penelitian, meskipun prosedur yang dilakukan seringkali belum tentu taat azas. Oleh karena itu, tidak setiap penelitian dapat dikategorikan sebagai penelitian ilmiah. Begitu pula, tidak setiap kegiatan penelitian ilmiah, dapat dikategorikan sahih.
Kegiatan penelitian pada dasarnya bisa dilakukan tidak saja oleh para ahli, dalam arti para akademisi, para peneliti profesional, tetapi juga bisa dilakukan orang awam. Hanya saja, dari ketiga golongan itu, diasumsi akan memberi bobot keilmiahan yang berbeda. Itulah sebabnya, suatu penelitian dapat dikategorikan sebagai tidak ilmiah, atau sudah bisa dikategorikan sebagai penelitian ilmiah tetapi tidak sahih, atau memang berkategori ilmiah yang sahih. Jadi dalam bobot penelitian sebetulnya dapat dibuat kategori sebagai berikut:

1. Penelitian nonilmiah
Suatu kegiatan penelitian ada kalanya menjadi bersifat tidak ilmiah ketika syarat-syarat dasar keilmiahan itu tidak tercapai atu dihindari, baik karena alasan keawaman (ketidaktahuan) maupun karena penyalahgunaan. Hal ini, ada kaitannya dengan soal gairah meneliti. Dalam gairah meneliti itu, arti rasa ingin tahu mengenai jawaban suatu masalah yang yang dihadapi atau yang diramalkan bisa terjadi , juga tumbuh di kalangan masyarakat umum. Hanya saja, bagaimana cara memahami masalah yang diajukan bisa jadi tidak bersifat sistematis, tidak objektif, dan tidak menggunakan metode ilmiah.
Kondisi itu bisa terjadi karena mengandalkan kepada misalnya common sense, bersifat intuitif, atau bersifat pilih-pilih (subjektif) dalam kaitannya dengan data apa yang harus dikumpulkan dan bagaimana data itu dikumpulkan, serta dianalisis dan dinterpretasi. Tujuan dari kegiatan penelitian demikian ini biasanya bersifat praktis dan sepihak dalam arti sepanjang jawaban yang ingin ditemukan sudah tercapai terlepas dari jawabannya itu sahih atau tidak sahih bukanlah masalah yang dipentingkan.
Kalau kondisi itu terjadi di kalangan masyarakat awam, mungkin masih bisa dipahami. Tetapi kalau yang melakukan penelitian tersebut pada dasarnya sudah memahami prosedur penelitian berdasar metode ilmiah, menurut Knafl (1991:360) sikap seperti itu dapat dikategorikan sebagai perbuatan jahat di dalam ilmu pengetahuan (misconduct in science). Perbuatan jahat itu bisa berupa pemalsuan, penjiplakan, atau praktik-praktik lain yang menyimpang dari norma yang telah disepakati dalam komuniti ilmiah.
Perbuatan jahat di dalam dunia ilmu pengetahuan (kegiatan penelitian), bisa terjadi karena paling tidak dua alasan yang saling mempengaruhi. Pertama, karena adanya kekuatan luar seperti misalnya penguasa atau penyandang dana, sementara penelitinya sendiri merasa takut terhadap ancaman itu. Kedua, karena moralitas peneliti itu sendiri yang rendah, sehingga lebih mementingkan penghasilan daripada kebenaran. Kalau tidak hati-hati, penelitian pesanan atau penelitian sebagai pembelaan (research as advocacy) terkadang terjebak ke arah ini. (bandingkan pada Morfit, 1983:68-9)

2. Penelitian Ilmiah yang tidak Sahih
Penelitian ilmiah adalah suatu kegitan yang sistematis dan objektif untuk mengkaji suatu atau beberapa masalah dalam usaha mencapai pengertian mengenai prinsip-prinsip yang mendasar dan umum berkenaan dengan landasan atau inti perwujudan masalah tersebut (Suparlan, 1994:14). Penelitian itu dilakukan dengan berpedoman pada berbagai informasi (yang terwujud sebagai teori-tori) yang telah dihasilkan dalam penelitian-penelitian yang terdahulu.
Secara teoritis, suatu penelitian dalam kerangka mengkaji masalah untuk mencapai pengertian mengenai prinsip-prinsip yang mendasar dan umum, dapat dikategorikan ilmiah kalau penelitian itu dilakukan secara sistematis, objektif dan menggunakan metode ilmiah. Objektivitas antara lain bisa ditempuh kalau prosedur penelitiannya terbuka, dan defenisi-defenisi yang digunakan tepat dan berdasarkan atas konsep-konsep dan teori-teori yang sudah ada. Begitu pula data. Data dikumpulkan secara objektif sehingga temuan-temuannya bisa ditemukan ulang oleh peneliti lain yang meneliti dan menggunakan pendekatan serta prosedur yang sama (Suparlan, 1994:14).
Tetapi di dalam praktiknya, persyaratan keilmiahan seperti itu, belum tentu secara tepat dan cermat dijalankan. Kalau kita telusuri, hal itu bisa terjadi berakar atau bermula dari epistemologi, teori dan metodologi yang digunakan tidak dijalankan secara konsisten oleh peneliti yang bersangkutan. Ketidak-konsistenan bisa terjadi karena berbagai alasan, seperti pengetahuan yang kurang memadai mengenai perspektif epistemologis dan pradigma teoritis, keterampilan metodologis, serta penyebab lain yang berkaitan dengan mental.


3. Penelitian Ilmiah yang Sahih
Kesahihan suatu penelitian tidak dilihat dari persoalan pendekatan kuantitatif atau kualitatif, tetapi lebih dilihat dari seberapa jauh tingkat konsistensi dalam menggunakan pradigma epistemologis, teoritis, dan metodoogis, serta teknik-teknik yang digunakan dalam kerangka melakukan penelitian. Masalahnya seperti dikatakan oleh Masinambow (1996) pandangan hidup atau worldview (perspektif epistemologis) menentukan kepada teori yang digunakan.
Dari teori yang digunakan, mempengaruhi kepada metode, teknik, sampai kepada pehaman mengeanai gejala itu sendiri. Pehaman mengenai gejala atau realitas, apakah didasarkan kepada pengertian pandangan kaum behaviorisme (positivisme, matearilisme) atau idialisme. Begitu pula masalah perspektif ontologis dan epistemologis yaitu apa yang disebut gejala atau realitas dan bagaimana memahami realitas itu, baru memberikan kemungkinan kesahihan berpikir logis kalau paradigma teoritis yang digunakan juga bertolak dari perspektif tersebut.
Di luar hal-hal itu, persyaratan lain juga untuk mencapai kesahihan dalam penelitian, juga menyangkut kepada metodologi yang digunakan serta sikap taat azas para peneliti itu sendiri. Mulai dari proses persiapan penelitian sampai pada penyusunan pelaporan penelitian. Unsur metodologis, menyangkut cara bagaimana memahami realitas atau gejala, bagaimana gejala-gejala itu dilihat, digali, dianalisis dan diinterpretasi, dan disimpulkan.
Semuanya itu perlu dipertimbangkan dan dipertanyakan kembali dalam hubungannya dengan ukuran validitas penelitian sesuai dengan pendekatan penelitian yang digunakan, yaitu apakah penelitian kuantitatif atau kualitatif. Kedua jenis pendekatan itu memiliki ukurannya sendiri-sendiri. Pada penelitian kuantitatif misalnya, pengukuran validitas eksternal (menyangkut: generalisasi deskriftif, dan generalisasi teoritik) dan validitas iinternal (menyangkut: validitas disain dan analisis, serta validitas dan realibilitas pengukuran). Sedang pada penelitian kualitatif validitas suatu penelitian dapat diukur.
Di sinilah perlunya kita melihat lagi bahwa landasan dasar dari suatu kegiatan penelitian ilmiah adalah metode ilmiah. Metode ilmiah adalah suatu kerangka landasan bagi terciptanya pengetahuan ilmiah. Pengetahuan ilmiah itu didapat melalui pengamatan , eksperimen, generalisasi dan verifikasi. Kalau dalam ilmu-ilmu sosial dan budaya, pengetahuan ilmiah itu umumnya diperoleh melalui wawancara dan pengamatan.2

C. Syarat-Syarat Penelitian
Tanpa adanya penelitian, pengetahuan tidak akan bertambah maju. Padahal pengetahuan adalah dasar semua tindakan dan usaha. Jadi penelitian sebagai dasar untuk meningkatkan pengetahuan, harus diadakan agar meningkat pula pencapaian usaha-usaha manusia. Ada tiga persyaratan penting dalam mengadakan penelitian yaitu sistematis, berencana, dan mengikuti konsep ilmiah.

1. Sistematis
Sistematis artinya dilaksanakan menurut pola tertentu, dari yang paling sederhana sampai kompleks hingga tercapai tujuan secara efektif dan efisien.

2. Berencana
Berencana artinya dilaksanakan dengan adanya unsur pikirkan langkah-langkah pelaksanaannya.

3. Mengikuti konsep ilmiah
Mengikuti konsep ilmiah artinya mulai dari awal sampai akhir kegiatan penelitian mengikuti cara-cara yang sudah ditentukan, yaitu prinsip yang digunakan untuk mempeoleh ilmu pengetahuan.

D. Tahap-tahap dalam Proses Penelitian
Penelitian sebagai suatu proses deduksi dan induksi dilakukan secara sistematis, ketat, analitis, dan terkendali. Tahap-tahap itu teratur secara sistematis. Kita tidak boleh langsung melakukan tahap tertentu sebelum melewati tahap sebelumnya yang merupakan prasyarat bagi tahap tersebut. Konsep-konsep yang merupakan sasaran penelitian diuraikan secara operasional atas indikator-indikator empiris. Dengan indikator-indikator tersebut, konsep yang abstrak itu terhubungkan dengan kenyataan-kenyataan empiris.
Penelitian selalu dikendalikan oleh hipotesis-hopotesis sebagai jawaban sementara atas pertanyaan penelitian. Di bawah ini dikemukakan 10 tahap yang harus dilalui secara sistematis dalam suatu penelitian empiris.3

1. Konseptualisasi Masalah
Proses penelitian ilmiah diawali dengan merumuskan pertanyaan penelitian atau apa yang disebut konseptualisasi masalah. Ada dua hal yang berhubungan dengan ini, yaitu masalah (substansi) yang dipertanyakan, dan pertanyaan dasar serta cara menjawab pertanyaan itu (metodologi). Konseptualisasi masalah ini menentukan tahap-tahap berikutnya. Jika terjadi kekeliruan pada tahap ini, maka seluruh tahap berikutnya akan mengalami kekeliruan. Oleh karena itu, tahap ini harus dilakukan dengan teliti.

2. Tujuan dan Hipotesis
Pada waktu kita mengajukan pertanyaan penelitian, maka sebenarnya pada waktu itu juga jawabannya sudah ada dalam pikiran kita. Jawaban tersebut memang masih diragukan, namun dapat dipakai sebagai jawaban sementara yang mengarahkan kita untuk mencari jawaban yang sebenarnya. Pertanyaan yang dirumuskan sebagai jawaban (sementara) terhadap pertanyaan itu disebut hipotesis penelitian. Oleh karena itu, tahap selanjutnya setelah konseptualisasi masalah adalah perumusan tujuan dan hipotesis. Tujuan dan hipotesis inilah yang mengendalikan semua kegiatan penelitian.

3. Kerangka Dasar Penelitian
Masalah-masalah yang dihadapim oleh peneliti memerlukan suatu penjelasan yang disusun dalam kerangka teoritis tertentu. Masalah pengangguran misalnya, memerlukan penjelasan dengan menggunakan konsep-konsep yang berhubungan dengan konsep tersebut, seperti investasi, tabungan masyarakat, pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan sebagainya. Konsep-konsep itu saling berhubungan membentuk beberapa proposisi. Hubungan-hubungan yang terbentuk disusun dalam suatu kerangka dasar, sehingga kita memperoleh penjelasan secara teoritis terhadap masalah pengangguran sebagai masalah penelitian. Konsep-konsep yang disusun dalam kerangka dasar penelitian itu adalah konsep-konsep yang tercakup dalam hipotesis-hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya. Karena itu, kerangka dasar tersebut disebut juga kerangka hipotesis. Dengan dirumuskannya secara operasional konsep-konsep dalam kerangka hipotesis itu, maka diperoleh kejelasan tentang data apa yang akan dikumpulkan untuk membuktikan hipotesis penelitian

4. Penarikan Sampel
Supaya data yang dibutuhkan untuk menguji hipotesis itu dapat dikumpulkan, maka harus jelas di mana data tersebut dikumpulkan dan strategi apa yang digunakan untuk mengumpulkannya. Tahap ini perumusanpopulasi dan sampel penelitian. Hasil dari proses penarikan sampel ini adalah suatu daftar responden sebagai sampel dari populasi penelitian.

5. Kontruksi instrumen
Selanjutnya perlu ditetapkan bagaimana mengumpulkan data dari sampel yang telah ditetapkan itu. Hal ini berhubungan dengan metode pengumpulan data dan alat-alat (instrumen) yang digunakan untuk mengumpulkannya. Tahap ini disebut pengumpulan data dan kontruksi instrumen. Instrumen penelitiannya disusun sesuai dengan metode yang digunakan untuk mengumpulkan data, seperti pedoman wawancara, daftar kuesioner, pedoman pengamatan, dan sebagainya.

6. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dalam rangka pembuktian hipotesis. Untuk itu perlu ditentukan metode pengumpulan data yang sesuai dengan setiap variable, supaya diperoleh informasi yang valid yang dapat dipercaya. Pengumpulan data dilakukan terhadap responden yang menjadi sampel penelitian.

7. Pengolahan Data
Data yang telah dikumpulkan itu masih berupa data mentah, sehingga perlu diolah supaya dapat dianalisis. Pengolahan ini dilakukan dalam 3 tahap, yaitu editing (penyuntingan), coding (pemberian kode), dan menyusunnya dalam master sheet (table induk).

8. Analisis Pendahuluan
Untuk menguji hipotesis, data yang telah diolah itu akan dianalisis dengan cara-cara tertentu. Analisis data penelitian itu sendiri dilakukan dalam dua tahap, yaitu analisis pendahuluan dan analisis lanjut. Analisis pendahuluan bersifat deskriptif dan terbatas pada data sampel. Maksud dari analisis ini adalah untuk mendeksripsikan setiap variable pada sampel penelitian, dan untuk menentukan alat analisis yang akan dipakai pada analisis selanjutnya.
9. Analisis lanjut
Analisis selanjutnya setelah analisis pendahuluan adalah analisis inferensial yang diarahkan pada pengujian hipotesis. Alat-alat analisis yang dipakai untuk ini disesuaikan dengan hipotesis operasional yang telah dirumuskan sebelumnya. Kalau hipotesis yang duji hanya mencakup satu variable, maka dipergunakan Uni Variate Analysis. Dan kalau mencakup lebih dari dua variable, maka dipergunakan Bivariate Analysis. Dan kalau mencakup lebih dari dua variable, maka dipergunakan Multivariate Analysis.

10. Inteprestasi
Hasil analisis ini kemudian diinterprestasikan melelui proses pembahasan. Tahap ini disebut analisis dan interprestasi hasil penelitian. Tahap terakhir adalah melaporkan hasil penelitian itu dalam bentuk tertulis.


E. Komponen Informasi dan Komponen Metodologi
Tahap-tahap yang ditempuh dalam proses di atas tidak membedakan tahap yang bersifat hasil temuan dengan tahap yang bersifat cara atau proses menemukan. Wallace membedakan kedua jenis sifat tersebut dalam dua macam komponen. Hasil temuan itu disebut komponen informasi, dan cara menemukannya disebut metodologi. Dengan pembedaan seperti itu maka keseluruhan proses penelitian terdiri atas 5 komponen informasi dan 6 komponen metodologi. Wallace selanjutnya mengatakan:

Individual observations are highly specific and essentially unique items of information whose synthesis into the more general form denoted by empirical generalizations is accomplished by measurement, sample summarazisa-tion and parameter estimation. Empirical generalization, in turn, are items of information that can be synthesized into theory, the most general type of formation, proposition formation and proposition arrangement. A theory, the most general type of information, is transformable into new hypotheses throught the method of logical deduction. An empirical hypotheses an informationitem that becomes transformed into new observations via interpretation of hypothesis into observables, instrumatation, scalling and sampling. These new observation are transformable into new empirical generalizations. Again, via measurement, sample summarization and parameter estimation, and the hypothesis that occasioned their construction may thenbe tested for conformity to them. Such tests may relystin a new informational outcome: named a decision to accept or eject the tesped hypothesis. Finally, it is inferred that the latter gives confiration, modification or rejected of theory.4

Kelima komponen informasi dalam tahap-tahap penelitian sebagaimana dikatakan di atas adalah:
1. teori;
2. hipotesis;
3. pengamatan;
4. generalisasi empiris
5. penerimaan atau penolakan hipotesis
Informasi-informasi tersebut ditemukan melalui 6 komponen metodologi, yaitu:
a. deduksi logis;
b. interprestasi hipotesis, instrumentasi, skala pengukuran, sampling;
c. penyederhanaan (dengan statistic, estimasi parameter);
d. pembentukan teori dan proposisi;
e. pengujian hipotesis;
f. inferensial logis.

Kalau kita mulai dengan mempermasalahkan suatu teori (1), maka dari teori tersebut kita menurunkan hipotesis (2). Cara menemukan hipotesis dari teori itu dilakukan dengan deduksi logis (a). Selanjutnya, untuk membuktikan hipotesis dibutuhkan data sebagai hasil pengamatan (3). Informasi ini diperoleh dengan cara, melakukan interpretasi terhadap hipotesis, menyusun instrumen, menarik sampel, dan menetapkan penhukuran variabel (b). Berdasarkan data hasil pengamatan (3) ini ingin diketahui apakah hipotesis penelitian diterima atau ditolak (5), dan di pihak lain ingin diperoleh informasi berupa generalisasi empiris (4). Penerimaan atu penolakan hipotesis berdasarkan data pengamatan itu dilakukan dengan analisis uji hipotesis (e), dan generalisai empiris diperoleh melalui penyederhanaan data secara statistik, antara lain dengan tehnik estimasi parameter (c). Dari hasil uji hipotesis (5) kemudian disimpulkan sejauh mana teori yang dipermasalahkan itu dapat diterima. Proses ini dilakukan dengan cara inferensial atau induksi logis (f). Di pihak lain, dari generalisasi empiris dibentuk konsep atau proposisi dengan cara pembentukan konsep, proposisi, dan teori (d).





Catatan
1. Suriasumantri, Jujun S. 1985. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, hal. 50
2. Mudjahirin, Tohir. 2009. “Penelitian Ilmiah dan Nonilmiah.” Tersedia: http//Staff. Undip. ac.id. weblog
3. Bandingkan dengan Nan Lin. 1976. Foundations of Social Research. New York: McGraw-Hill Book Company, hlm.9.
4. Wallace, Walter. 1979. “An Overview of Element in the Scientific Process” dalam John Bynner dan Keith M. Stibly (ed.), Social Research: Princples and Prosedures. New York: Longman in association with the Open University Press, hlm.4

Tentang Keelokan

Kukabarkan kepadamu tentang keelokan
yang diciptakan atas tujuh bagian
yaitu keindahan, kecantikan, penerangan cahaya,
kegelapan, dan ketipisan serta kelembutan

Bertanya kepadaku
Siapa makhluk pemegang keelokan?

Kukabarkan kepadamu
Tatkala makhluk-makhluk diciptakan
Diberinya tiap jenis makhluk
Bagian-bagian dari keelokan itu
Keindahan diberikan untuk surga
Kecantikan diberikan untuk bidadari
Penerangan diberikan untuk matahari
Cahaya diberikan untuk bulan
Kegelapan diberikan untuk malam
Ketipisan diberikan untuk awan
Kelembutan diberikan untuk angin

Diberi apakah bumi,
tempat makhluk lain berpijak?
Diberi apakah langit,
tempat makhluk lain berteduh?
Kukabarkan kepadamu
Dua makhluk besar itu dihiasi dengan
Seluruh tujuh unsur keelokan
Bumi dan langit bisa indah bisa mencantik
Langit dan bumi bisa cantik bisa menerang
Bumi dan langit bisa terang bisa mencahaya
Langit dan bumi bisa cahaya bisa menggelap
Bumi dan langit bisa gelap bisa menipis
Langit dan bumi bisa tipis bisa melembut

Bertanyalah kepadaku
Siapa yang mewarisi keelokan?

Kukabarkan kepadamu
Tatkala Adam dan Hawa diciptakan
Dilengkapilah calon manusia itu
Dengan tujuh sifat keelokan:
Keindahan untuk rohnya
Kecantikan untuk lidahnya
Penerangan untuk wajahnya
Cahaya untuk matanya
Kegelapan untuk rambutnya
Ketipisan untuk hatinya
Kelembutan untuk rahasianya

Amboi, manusia sejagad raya
Kamulah terbagus dari segala makhluk