A. Hakikat penelitian
Penelitian atau riset pada hakikatnya bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang sesuatu yang dianggap benar melalui proses bertanya dan menjawab. Tetapi, antara bertanya dan menjawab terdapat suatu proses yang menentukan mutu jawaban yang diperoleh. Penelitian bertitik tolak dari pertanyaan yang muncul karena adanya keraguan,1dan keraguan ini yang menjadi dasar permulaan ilmu pengetahuan. Dari pertanyaan muncul suatu proses untuk memperoleh jawaban, yaitu jawaban yang dipercaya sebagai kebenaran walaupun sifat kebenarannya sementara. Jawaban yang diperoleh melalui proses seperti itu pada gilirannya akan dipertanyakan kembali, yang akan dijawab lagi melalui proses penelitian.
Proses itu dilakukan secara deduksi dan induksi, sistematis, terkendali, empiris, dan kritis. Jawaban yang akan diperoleh melalui proses penelitian harus mampu memberikan penjelasan terhadap peristiwa-peristiwa empiris yang dipertanyakan. Jika seorang ilmuan berhadapan dengan masalah-masalah yang bersangkutan. Sebaliknya, jika ia menyusun suatu teori yang sifatnya sangat abstrak, maka teori itu harus berhubungan dengan realita di mana teori itu dipergunakan. Dengan kata lain teori itu harus disusun secara logis dan rasional.
B. Kategori Penelitian
Meneliti atau mengadakan riset (research), kendatipun secara umum berada dalam wacana keilmuan, tetapi tidak berarti hanya kaum akademi saja yang memperaktekkan kegiatan tersebut. Ada kalanya di kalangan awam terlibat kepada kegiatan penelitian, meskipun prosedur yang dilakukan seringkali belum tentu taat azas. Oleh karena itu, tidak setiap penelitian dapat dikategorikan sebagai penelitian ilmiah. Begitu pula, tidak setiap kegiatan penelitian ilmiah, dapat dikategorikan sahih.
Kegiatan penelitian pada dasarnya bisa dilakukan tidak saja oleh para ahli, dalam arti para akademisi, para peneliti profesional, tetapi juga bisa dilakukan orang awam. Hanya saja, dari ketiga golongan itu, diasumsi akan memberi bobot keilmiahan yang berbeda. Itulah sebabnya, suatu penelitian dapat dikategorikan sebagai tidak ilmiah, atau sudah bisa dikategorikan sebagai penelitian ilmiah tetapi tidak sahih, atau memang berkategori ilmiah yang sahih. Jadi dalam bobot penelitian sebetulnya dapat dibuat kategori sebagai berikut:
1. Penelitian nonilmiah
Suatu kegiatan penelitian ada kalanya menjadi bersifat tidak ilmiah ketika syarat-syarat dasar keilmiahan itu tidak tercapai atu dihindari, baik karena alasan keawaman (ketidaktahuan) maupun karena penyalahgunaan. Hal ini, ada kaitannya dengan soal gairah meneliti. Dalam gairah meneliti itu, arti rasa ingin tahu mengenai jawaban suatu masalah yang yang dihadapi atau yang diramalkan bisa terjadi , juga tumbuh di kalangan masyarakat umum. Hanya saja, bagaimana cara memahami masalah yang diajukan bisa jadi tidak bersifat sistematis, tidak objektif, dan tidak menggunakan metode ilmiah.
Kondisi itu bisa terjadi karena mengandalkan kepada misalnya common sense, bersifat intuitif, atau bersifat pilih-pilih (subjektif) dalam kaitannya dengan data apa yang harus dikumpulkan dan bagaimana data itu dikumpulkan, serta dianalisis dan dinterpretasi. Tujuan dari kegiatan penelitian demikian ini biasanya bersifat praktis dan sepihak dalam arti sepanjang jawaban yang ingin ditemukan sudah tercapai terlepas dari jawabannya itu sahih atau tidak sahih bukanlah masalah yang dipentingkan.
Kalau kondisi itu terjadi di kalangan masyarakat awam, mungkin masih bisa dipahami. Tetapi kalau yang melakukan penelitian tersebut pada dasarnya sudah memahami prosedur penelitian berdasar metode ilmiah, menurut Knafl (1991:360) sikap seperti itu dapat dikategorikan sebagai perbuatan jahat di dalam ilmu pengetahuan (misconduct in science). Perbuatan jahat itu bisa berupa pemalsuan, penjiplakan, atau praktik-praktik lain yang menyimpang dari norma yang telah disepakati dalam komuniti ilmiah.
Perbuatan jahat di dalam dunia ilmu pengetahuan (kegiatan penelitian), bisa terjadi karena paling tidak dua alasan yang saling mempengaruhi. Pertama, karena adanya kekuatan luar seperti misalnya penguasa atau penyandang dana, sementara penelitinya sendiri merasa takut terhadap ancaman itu. Kedua, karena moralitas peneliti itu sendiri yang rendah, sehingga lebih mementingkan penghasilan daripada kebenaran. Kalau tidak hati-hati, penelitian pesanan atau penelitian sebagai pembelaan (research as advocacy) terkadang terjebak ke arah ini. (bandingkan pada Morfit, 1983:68-9)
2. Penelitian Ilmiah yang tidak Sahih
Penelitian ilmiah adalah suatu kegitan yang sistematis dan objektif untuk mengkaji suatu atau beberapa masalah dalam usaha mencapai pengertian mengenai prinsip-prinsip yang mendasar dan umum berkenaan dengan landasan atau inti perwujudan masalah tersebut (Suparlan, 1994:14). Penelitian itu dilakukan dengan berpedoman pada berbagai informasi (yang terwujud sebagai teori-tori) yang telah dihasilkan dalam penelitian-penelitian yang terdahulu.
Secara teoritis, suatu penelitian dalam kerangka mengkaji masalah untuk mencapai pengertian mengenai prinsip-prinsip yang mendasar dan umum, dapat dikategorikan ilmiah kalau penelitian itu dilakukan secara sistematis, objektif dan menggunakan metode ilmiah. Objektivitas antara lain bisa ditempuh kalau prosedur penelitiannya terbuka, dan defenisi-defenisi yang digunakan tepat dan berdasarkan atas konsep-konsep dan teori-teori yang sudah ada. Begitu pula data. Data dikumpulkan secara objektif sehingga temuan-temuannya bisa ditemukan ulang oleh peneliti lain yang meneliti dan menggunakan pendekatan serta prosedur yang sama (Suparlan, 1994:14).
Tetapi di dalam praktiknya, persyaratan keilmiahan seperti itu, belum tentu secara tepat dan cermat dijalankan. Kalau kita telusuri, hal itu bisa terjadi berakar atau bermula dari epistemologi, teori dan metodologi yang digunakan tidak dijalankan secara konsisten oleh peneliti yang bersangkutan. Ketidak-konsistenan bisa terjadi karena berbagai alasan, seperti pengetahuan yang kurang memadai mengenai perspektif epistemologis dan pradigma teoritis, keterampilan metodologis, serta penyebab lain yang berkaitan dengan mental.
3. Penelitian Ilmiah yang Sahih
Kesahihan suatu penelitian tidak dilihat dari persoalan pendekatan kuantitatif atau kualitatif, tetapi lebih dilihat dari seberapa jauh tingkat konsistensi dalam menggunakan pradigma epistemologis, teoritis, dan metodoogis, serta teknik-teknik yang digunakan dalam kerangka melakukan penelitian. Masalahnya seperti dikatakan oleh Masinambow (1996) pandangan hidup atau worldview (perspektif epistemologis) menentukan kepada teori yang digunakan.
Dari teori yang digunakan, mempengaruhi kepada metode, teknik, sampai kepada pehaman mengeanai gejala itu sendiri. Pehaman mengenai gejala atau realitas, apakah didasarkan kepada pengertian pandangan kaum behaviorisme (positivisme, matearilisme) atau idialisme. Begitu pula masalah perspektif ontologis dan epistemologis yaitu apa yang disebut gejala atau realitas dan bagaimana memahami realitas itu, baru memberikan kemungkinan kesahihan berpikir logis kalau paradigma teoritis yang digunakan juga bertolak dari perspektif tersebut.
Di luar hal-hal itu, persyaratan lain juga untuk mencapai kesahihan dalam penelitian, juga menyangkut kepada metodologi yang digunakan serta sikap taat azas para peneliti itu sendiri. Mulai dari proses persiapan penelitian sampai pada penyusunan pelaporan penelitian. Unsur metodologis, menyangkut cara bagaimana memahami realitas atau gejala, bagaimana gejala-gejala itu dilihat, digali, dianalisis dan diinterpretasi, dan disimpulkan.
Semuanya itu perlu dipertimbangkan dan dipertanyakan kembali dalam hubungannya dengan ukuran validitas penelitian sesuai dengan pendekatan penelitian yang digunakan, yaitu apakah penelitian kuantitatif atau kualitatif. Kedua jenis pendekatan itu memiliki ukurannya sendiri-sendiri. Pada penelitian kuantitatif misalnya, pengukuran validitas eksternal (menyangkut: generalisasi deskriftif, dan generalisasi teoritik) dan validitas iinternal (menyangkut: validitas disain dan analisis, serta validitas dan realibilitas pengukuran). Sedang pada penelitian kualitatif validitas suatu penelitian dapat diukur.
Di sinilah perlunya kita melihat lagi bahwa landasan dasar dari suatu kegiatan penelitian ilmiah adalah metode ilmiah. Metode ilmiah adalah suatu kerangka landasan bagi terciptanya pengetahuan ilmiah. Pengetahuan ilmiah itu didapat melalui pengamatan , eksperimen, generalisasi dan verifikasi. Kalau dalam ilmu-ilmu sosial dan budaya, pengetahuan ilmiah itu umumnya diperoleh melalui wawancara dan pengamatan.2
C. Syarat-Syarat Penelitian
Tanpa adanya penelitian, pengetahuan tidak akan bertambah maju. Padahal pengetahuan adalah dasar semua tindakan dan usaha. Jadi penelitian sebagai dasar untuk meningkatkan pengetahuan, harus diadakan agar meningkat pula pencapaian usaha-usaha manusia. Ada tiga persyaratan penting dalam mengadakan penelitian yaitu sistematis, berencana, dan mengikuti konsep ilmiah.
1. Sistematis
Sistematis artinya dilaksanakan menurut pola tertentu, dari yang paling sederhana sampai kompleks hingga tercapai tujuan secara efektif dan efisien.
2. Berencana
Berencana artinya dilaksanakan dengan adanya unsur pikirkan langkah-langkah pelaksanaannya.
3. Mengikuti konsep ilmiah
Mengikuti konsep ilmiah artinya mulai dari awal sampai akhir kegiatan penelitian mengikuti cara-cara yang sudah ditentukan, yaitu prinsip yang digunakan untuk mempeoleh ilmu pengetahuan.
D. Tahap-tahap dalam Proses Penelitian
Penelitian sebagai suatu proses deduksi dan induksi dilakukan secara sistematis, ketat, analitis, dan terkendali. Tahap-tahap itu teratur secara sistematis. Kita tidak boleh langsung melakukan tahap tertentu sebelum melewati tahap sebelumnya yang merupakan prasyarat bagi tahap tersebut. Konsep-konsep yang merupakan sasaran penelitian diuraikan secara operasional atas indikator-indikator empiris. Dengan indikator-indikator tersebut, konsep yang abstrak itu terhubungkan dengan kenyataan-kenyataan empiris.
Penelitian selalu dikendalikan oleh hipotesis-hopotesis sebagai jawaban sementara atas pertanyaan penelitian. Di bawah ini dikemukakan 10 tahap yang harus dilalui secara sistematis dalam suatu penelitian empiris.3
1. Konseptualisasi Masalah
Proses penelitian ilmiah diawali dengan merumuskan pertanyaan penelitian atau apa yang disebut konseptualisasi masalah. Ada dua hal yang berhubungan dengan ini, yaitu masalah (substansi) yang dipertanyakan, dan pertanyaan dasar serta cara menjawab pertanyaan itu (metodologi). Konseptualisasi masalah ini menentukan tahap-tahap berikutnya. Jika terjadi kekeliruan pada tahap ini, maka seluruh tahap berikutnya akan mengalami kekeliruan. Oleh karena itu, tahap ini harus dilakukan dengan teliti.
2. Tujuan dan Hipotesis
Pada waktu kita mengajukan pertanyaan penelitian, maka sebenarnya pada waktu itu juga jawabannya sudah ada dalam pikiran kita. Jawaban tersebut memang masih diragukan, namun dapat dipakai sebagai jawaban sementara yang mengarahkan kita untuk mencari jawaban yang sebenarnya. Pertanyaan yang dirumuskan sebagai jawaban (sementara) terhadap pertanyaan itu disebut hipotesis penelitian. Oleh karena itu, tahap selanjutnya setelah konseptualisasi masalah adalah perumusan tujuan dan hipotesis. Tujuan dan hipotesis inilah yang mengendalikan semua kegiatan penelitian.
3. Kerangka Dasar Penelitian
Masalah-masalah yang dihadapim oleh peneliti memerlukan suatu penjelasan yang disusun dalam kerangka teoritis tertentu. Masalah pengangguran misalnya, memerlukan penjelasan dengan menggunakan konsep-konsep yang berhubungan dengan konsep tersebut, seperti investasi, tabungan masyarakat, pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan sebagainya. Konsep-konsep itu saling berhubungan membentuk beberapa proposisi. Hubungan-hubungan yang terbentuk disusun dalam suatu kerangka dasar, sehingga kita memperoleh penjelasan secara teoritis terhadap masalah pengangguran sebagai masalah penelitian. Konsep-konsep yang disusun dalam kerangka dasar penelitian itu adalah konsep-konsep yang tercakup dalam hipotesis-hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya. Karena itu, kerangka dasar tersebut disebut juga kerangka hipotesis. Dengan dirumuskannya secara operasional konsep-konsep dalam kerangka hipotesis itu, maka diperoleh kejelasan tentang data apa yang akan dikumpulkan untuk membuktikan hipotesis penelitian
4. Penarikan Sampel
Supaya data yang dibutuhkan untuk menguji hipotesis itu dapat dikumpulkan, maka harus jelas di mana data tersebut dikumpulkan dan strategi apa yang digunakan untuk mengumpulkannya. Tahap ini perumusanpopulasi dan sampel penelitian. Hasil dari proses penarikan sampel ini adalah suatu daftar responden sebagai sampel dari populasi penelitian.
5. Kontruksi instrumen
Selanjutnya perlu ditetapkan bagaimana mengumpulkan data dari sampel yang telah ditetapkan itu. Hal ini berhubungan dengan metode pengumpulan data dan alat-alat (instrumen) yang digunakan untuk mengumpulkannya. Tahap ini disebut pengumpulan data dan kontruksi instrumen. Instrumen penelitiannya disusun sesuai dengan metode yang digunakan untuk mengumpulkan data, seperti pedoman wawancara, daftar kuesioner, pedoman pengamatan, dan sebagainya.
6. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dalam rangka pembuktian hipotesis. Untuk itu perlu ditentukan metode pengumpulan data yang sesuai dengan setiap variable, supaya diperoleh informasi yang valid yang dapat dipercaya. Pengumpulan data dilakukan terhadap responden yang menjadi sampel penelitian.
7. Pengolahan Data
Data yang telah dikumpulkan itu masih berupa data mentah, sehingga perlu diolah supaya dapat dianalisis. Pengolahan ini dilakukan dalam 3 tahap, yaitu editing (penyuntingan), coding (pemberian kode), dan menyusunnya dalam master sheet (table induk).
8. Analisis Pendahuluan
Untuk menguji hipotesis, data yang telah diolah itu akan dianalisis dengan cara-cara tertentu. Analisis data penelitian itu sendiri dilakukan dalam dua tahap, yaitu analisis pendahuluan dan analisis lanjut. Analisis pendahuluan bersifat deskriptif dan terbatas pada data sampel. Maksud dari analisis ini adalah untuk mendeksripsikan setiap variable pada sampel penelitian, dan untuk menentukan alat analisis yang akan dipakai pada analisis selanjutnya.
9. Analisis lanjut
Analisis selanjutnya setelah analisis pendahuluan adalah analisis inferensial yang diarahkan pada pengujian hipotesis. Alat-alat analisis yang dipakai untuk ini disesuaikan dengan hipotesis operasional yang telah dirumuskan sebelumnya. Kalau hipotesis yang duji hanya mencakup satu variable, maka dipergunakan Uni Variate Analysis. Dan kalau mencakup lebih dari dua variable, maka dipergunakan Bivariate Analysis. Dan kalau mencakup lebih dari dua variable, maka dipergunakan Multivariate Analysis.
10. Inteprestasi
Hasil analisis ini kemudian diinterprestasikan melelui proses pembahasan. Tahap ini disebut analisis dan interprestasi hasil penelitian. Tahap terakhir adalah melaporkan hasil penelitian itu dalam bentuk tertulis.
E. Komponen Informasi dan Komponen Metodologi
Tahap-tahap yang ditempuh dalam proses di atas tidak membedakan tahap yang bersifat hasil temuan dengan tahap yang bersifat cara atau proses menemukan. Wallace membedakan kedua jenis sifat tersebut dalam dua macam komponen. Hasil temuan itu disebut komponen informasi, dan cara menemukannya disebut metodologi. Dengan pembedaan seperti itu maka keseluruhan proses penelitian terdiri atas 5 komponen informasi dan 6 komponen metodologi. Wallace selanjutnya mengatakan:
Individual observations are highly specific and essentially unique items of information whose synthesis into the more general form denoted by empirical generalizations is accomplished by measurement, sample summarazisa-tion and parameter estimation. Empirical generalization, in turn, are items of information that can be synthesized into theory, the most general type of formation, proposition formation and proposition arrangement. A theory, the most general type of information, is transformable into new hypotheses throught the method of logical deduction. An empirical hypotheses an informationitem that becomes transformed into new observations via interpretation of hypothesis into observables, instrumatation, scalling and sampling. These new observation are transformable into new empirical generalizations. Again, via measurement, sample summarization and parameter estimation, and the hypothesis that occasioned their construction may thenbe tested for conformity to them. Such tests may relystin a new informational outcome: named a decision to accept or eject the tesped hypothesis. Finally, it is inferred that the latter gives confiration, modification or rejected of theory.4
Kelima komponen informasi dalam tahap-tahap penelitian sebagaimana dikatakan di atas adalah:
1. teori;
2. hipotesis;
3. pengamatan;
4. generalisasi empiris
5. penerimaan atau penolakan hipotesis
Informasi-informasi tersebut ditemukan melalui 6 komponen metodologi, yaitu:
a. deduksi logis;
b. interprestasi hipotesis, instrumentasi, skala pengukuran, sampling;
c. penyederhanaan (dengan statistic, estimasi parameter);
d. pembentukan teori dan proposisi;
e. pengujian hipotesis;
f. inferensial logis.
Kalau kita mulai dengan mempermasalahkan suatu teori (1), maka dari teori tersebut kita menurunkan hipotesis (2). Cara menemukan hipotesis dari teori itu dilakukan dengan deduksi logis (a). Selanjutnya, untuk membuktikan hipotesis dibutuhkan data sebagai hasil pengamatan (3). Informasi ini diperoleh dengan cara, melakukan interpretasi terhadap hipotesis, menyusun instrumen, menarik sampel, dan menetapkan penhukuran variabel (b). Berdasarkan data hasil pengamatan (3) ini ingin diketahui apakah hipotesis penelitian diterima atau ditolak (5), dan di pihak lain ingin diperoleh informasi berupa generalisasi empiris (4). Penerimaan atu penolakan hipotesis berdasarkan data pengamatan itu dilakukan dengan analisis uji hipotesis (e), dan generalisai empiris diperoleh melalui penyederhanaan data secara statistik, antara lain dengan tehnik estimasi parameter (c). Dari hasil uji hipotesis (5) kemudian disimpulkan sejauh mana teori yang dipermasalahkan itu dapat diterima. Proses ini dilakukan dengan cara inferensial atau induksi logis (f). Di pihak lain, dari generalisasi empiris dibentuk konsep atau proposisi dengan cara pembentukan konsep, proposisi, dan teori (d).
Catatan
1. Suriasumantri, Jujun S. 1985. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, hal. 50
2. Mudjahirin, Tohir. 2009. “Penelitian Ilmiah dan Nonilmiah.” Tersedia: http//Staff. Undip. ac.id. weblog
3. Bandingkan dengan Nan Lin. 1976. Foundations of Social Research. New York: McGraw-Hill Book Company, hlm.9.
4. Wallace, Walter. 1979. “An Overview of Element in the Scientific Process” dalam John Bynner dan Keith M. Stibly (ed.), Social Research: Princples and Prosedures. New York: Longman in association with the Open University Press, hlm.4
Senin, 01 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar